Oleh: Erang Cuomo
Pria berkemeja biru muda itu menarik perhatian saya. Bukan saja karena dia satu-satunya pengunjung taman ini yang tidak larut dalam keindahan bulan purnama, tetapi karena matanya yang mampu menarik saya untuk terus mengamatinya. Seakan matanya adalah magnet kutub selatan dan mata saya adalah kutub utaranya. Saya segera mencari posisi yang enak untuk terus memandang mata pria berkemeja biru muda itu, karena saya yakin bahwa pria berkemeja biru muda itu akan berdiam cukup lama di tempatnya, bangku yang berada tepat di bawah lampu taman.
Entah motivasi apa yang mendorong saya untuk melakukan hal ini. Saya sendiri juga merasa heran. Saya adalah orang yang biasa saja, tidak pernah tertarik kepada hal-hal tertentu. Tidak seperti beberapa teman saya yang memberi perhatian khusus kepada sesuatu, entah itu berupa barang atau kegiatan atau yang lain. Tetapi entah kenapa malam ini saya tertarik dengan mata seorang pria berkemeja biru muda. Seakan-akan mata pria itu menawarkan dunia dalam dirinya kepada dunia luar.
Setelah puas dengan mata pria berkemaja biru muda itu, saya segera mempersiapkan kamera saya. Saya ingin suatu saat memasuki lagi dunia pria berkemeja biru muda itu. Lantas saya mengambil beberapa foto dari mata pria itu. Tidak perlu lampu blitz, karena sudah cukup terang.
Selepas dari pria berkemeja biru muda itu, saya menuju aula taman. Di aula taman inilah, banyak orang berkumpul untuk menikmati bulan purnama. Memang dari tempat ini bulan purnama terlihat sangat jelas. Aula taman ini berubah menjadi semacam pasar malam setiap bulan purnama, seakan-akan sudah menjadi ritual turun-temurun bahwa setiap malam bulan purnama, warga kota merayakannya dengan mengadakan pasar malam di aula taman kota. Saya sendiri, meskipun sudah tinggal di kota ini selama tiga tahun, tetap belum mengetahui asal mula mengapa setiap bulan purnama, warga kota mengadakan semacam selebrasi di aula taman ini.
Saya duduk di samping pedagang minuman air mineral. Entah kenapa saya merasa teduh berada di samping pedagang air mineral ini. Saya mencoba mengamati matanya. Lagi-lagi saya seperti terkena magnet. Mata saya seolah tidak bisa lepas menatap mata penjual air mineral ini, saya merasakan sensasi yang sama ketika saya mengamati mata pria berkemeja biru muda tadi. Secara refleks, saya mempersiapkan kamera saya, dan mengambil beberapa foto dari mata pedagang air mineral. Mata padagang itu hanya melirik sebentar ke arah kamera, lantas beralih ke bulan purnama. Setelah selesai mengambil foto dari mata pedagang air mineral itu, saya berpindah ke sudut lain dari taman ini. Saya bersiap mencari lebih banyak lagi mata malam ini.
***
Saya hidupkan lampu meja belajar saya dengan tergesa, sampai saya tidak sadar menekan tombol off ketika lampu sudah menyala. Sore tadi foto hasil jepretan saya di taman sewaktu bulan purnama tempo hari jadi. Saya tidak sabar lagi untuk merenung di dunia pria berkemeja biru muda yang penuh dengan kesendirian. Betapa teduhnya bernaung di mata pedagang air mineral, segarnya air sungai yang mengalir dari mata seorang anak kecil yang bermain balon, dan dunia lainnya yang ditawarkan oleh mata pengunjung taman sewaktu malam bulan purnama.
Sejak kejadian di taman pada waktu bulan purnama itu, saya menjadi seseorang yang sangat menyukai mata. Bagi saya mata menyimpan suatu dunia yang tidak bisa ditutupi oleh apapun, bahkan dengan senyum termanis dan terlicik yang dipunyai manusia. Kadang mata menjadi magnet yang mampu menarik mata yang lain untuk terus memandang. Kadang mata menjadi sebilah pisau tajam yang siap menikam kapan saja. Bahkan mata bisa menjadi nenek tua yang sedang mendongeng, sehingga kelopak mata akan mengatup dan tidak mau membuka lagi.
Saya buka perlahan-lahan kertas pembungkus berisi foto beberapa mata yang menyimpan dunia itu. Saya cari kesendirian dari mata pria berkemeja biru muda. Tetapi hilang. Justru suasana riang gembira yang saya temui ketika saya melihat lekat-lekat foto itu. Saya bolak-balik foto penjual air mineral. Terik, panas dan gersang yang saya temui di sana. Tidak ada suasana teduh dan tenang. Saya pelototi foto itu. Tetapi hanya kesan terik, panas dan gersang itu yang muncul. Saya cermati foto-foto lain yang ada dalam kertas pembungkus. Tetapi saya tetap tidak menemukan dunia yang sama seperti malam bulan purnama waktu itu. Seakan-akan dunia itu terkunci, dan saya tidak bisa membukanya.